
Kata Pengantar
Sudah bukan rahasia umum lagi kalau pada suatu saat kita mendengar cerita orang (atau bahkan mengalami sendiri), seorang polisi berkata kepada pelanggar lalu lintas “Anda telah melanggar lampu merah, jika mau sidang tanggal sekian, kalau titip saya sekarang Rp. 20. 000 saja…”. Hal seperti ini bagi mereka (polisi) mungkin adalah hal yang biasa. Itu baru pelanggaran rambu lalu lintas saja, bagaimana jika seorang pejabat yang korup ketika mau ditangkap polisi juga “nitip” ratusan juta rupiah dan masalah selesai? Sungguh memprihatinkan, tetapi itulah kenyataan yang ada pada lembaga kepolisian kita. Celakanya lagi tingkat kesadaran hukum masyarakat juga masih lemah, sehingga praktek jual beli hukum tak terhindarkan.
Masalah perjudian, seperti togel misalnya, juga menjadi hal yang dilematis bagi polisi. Bisnis haram ini memang mendapatkan keuntungan yang berlimpah bagi bandarnya. Apalagi kondisi sosial ekonomi yang serba sulit telah menggoda sebagian masyarakat kita untuk menggapai mimpi dengan membeli togel. Diakui oleh beberapa penjual dan pengecer togel, mereka tiap hari rata-rata mesti setor 5 ribu rupiah pada oknum aparat biar tidak ditangkap.
Citra buruk lembaga kepolisian kita sebenarnya sudah dapat dilihat mulai dari sistem rekruitmen yang tidak bersih. Harus menyediakan uang puluhan juta rupiah agar proses penerimaan lancar sehingga bisa diterima menjadi polisi, dan hal ini diakui oleh beberapa orang yang diterima menjadi anggota polisi. Mereka pada waktu proses penerimaan rata-rata mengeluarkan 10 hingga 20 juta rupiah (dan anehnya, uang tersebut tidak jelas kemana arahnya). Hal ini tentu menjadi sangat ironis bila lembaga kepolisian kita selalu beralasan bahwa mereka masih kekurangan dana operasional.
Beberapa “kejanggalan” yang dilakukan polisi, baik oleh oknum atau secara kelembagaan di atas menjadi pertanyaan yang sangat besar bagi kita, Polisi sebenarnya adalah penegak atau pelanggar hukum? (redaksi).
Daftar Isi
- Tajuk: Polisi dalam Transisi Politik
- Liputan Utama: Merumuskan Praradigma Membangun Manajemen
- Apa & Siapa: Berjuang Menyatukan Kampung
- Liputan Khusus: Melepas Beratnya Hidup denangan Mimpi Dapet Lotre
- Catatan Tepi: Nasib Polisi Bawahan
go to english page
daftar penelitian PUSHAM UII
daftar buku koleksi PUSHAM UII
Kaos terbitan PUSHAM UII
Bulletin terbitan PUSHAM UII
Buku terbitan PUSHAM UII
newsletter dan komik terbitan PUSHAM UII
renungan dan analisis singkat
Oleh: Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH.
(Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Terminologi yang penulis gunakan dalam artikel ini adalah “pemilukada”, bukan “pilkada”, bukan pula “pemilihan” seperti yang selama ini digunakan. Terkait dengan pemilihan kepala daerah, terdapat perdebatan panjang yang melelahkan bahkan sampai hari ini belum selesai, yaitu apakah rezim pemilihan kepala daerah termasuk rezim pemilu, ataukah rezim pemilihan kepala daerah.
