
Kata Pengantar
Hingga kini, potret penegakan HAM di negeri in masih saja terlihat buram. Di saat kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu masih belum terselesaikan, berbagai bentuk pelanggaran HAM baru terus bermunculan. Krisis ekonomi yang tak kunjung usai, beragam konflik sosial-politik, kekerasan massa, teror, serta pendekatan militeristik dalam berbagai masalah kebangsaan adalah beberapa contoh fenomena aktual di negeri in yang mendorong dan menyebabkan banyak hak-hak asasi warga negara terlanggar dan tercerabut.
Diantara sebab utamanya adalah lemahnya kemampuan dan peran negara dalam menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga. Negara yang berkewajiban menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak warga negara, dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini justru terjebak dalam kondisi 'ungovernability' yang membuatnya tidak mampu memenuhi kewajiban moral, legal dan politiknya dalam melindungi dan memenuhi hak-hak warganya, baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, negara juga belum sepenuhnya terlepas dari kendali dan hegemoni militer yang menjadikannya sulit menghapuskan wajah represifnya.
Berangkat dari kenyataan itulah, Teropong edisi perdana in mencoba mengangkat isu pentingnya upaya yang sungguh-sungguh dalam membentuk negara beradab (civil state), yakni negara yang menurut Robert W. Hefner dapat membatasi kekuasaannya sendiri (self limiting) dan mampu menjamin terlindungi dan terpenuhinya hak-hak warganya. Selamat membaca! (redaksi)
Daftar Isi
- FOKUS :
- Negara, Kekerasan dan HAM
- Negara dan Penegakan HAM Pasca-Orde Baru
- PERSPEKTIF: "Negara Hukum dan Hak-Hak Warga Negara"
- WAWANCARA
- WACANA : "Dari Civil Society Menuju Civil State"
- APRESIASI : "Demokratisasi dan HAM: Keselarasan atau Ketegangan?"
- Model Spiral Pembumian HAM
go to english page
daftar penelitian PUSHAM UII
daftar buku koleksi PUSHAM UII
Kaos terbitan PUSHAM UII
Bulletin terbitan PUSHAM UII
Buku terbitan PUSHAM UII
newsletter dan komik terbitan PUSHAM UII
renungan dan analisis singkat
Oleh: Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH.
(Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Terminologi yang penulis gunakan dalam artikel ini adalah “pemilukada”, bukan “pilkada”, bukan pula “pemilihan” seperti yang selama ini digunakan. Terkait dengan pemilihan kepala daerah, terdapat perdebatan panjang yang melelahkan bahkan sampai hari ini belum selesai, yaitu apakah rezim pemilihan kepala daerah termasuk rezim pemilu, ataukah rezim pemilihan kepala daerah.
